“Saya bermimpi
mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu (isyarat-pent)
musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian saya
ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari
sebelumnya. Itu (isyarat –pent-) kemenangan yang Allah Ta’ala
anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu saya juga
melihat sapi –Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik- Itu
(isyarat) terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang
Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan
kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menakwilkan mimpi Beliau ini dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud.
Saat mengetahui kedatangan Quraisy untuk menyerbu kaum Muslimin di Madinah, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengajak para Sahabat bermusyawarah untuk mengambil tindakan terbaik. Apakah mereka tetap tinggal di Madinah menunggu dan menyambut musuh di kota Madinah ataukah mereka akan menyongsong musuh di luar Madinah?
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
cenderung mengajak para Sahabat bertahan di Madinah dan melakukan perang
kota, namun sekelompok kaum Anshâr radhiallahu'anhum mengatakan,
“Wahai Nabiyullâh!
Sesungguhnya kami benci berperang di jalan kota Madinah. Pada jaman
jahiliyah kami telah berusaha menghindari peperangan (dalam kota), maka
setelah Islam kita lebih berhak untuk menghindarinya. Cegatlah mereka
(di luar Madinah) !"
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
bersiap untuk berangkat. Beliau mengenakan baju besi dan segala
peralatan perang. Setelah menyadari keadaan, para Sahabat saling
menyalahkan. Akhirnya, mereka mengatakan:
“Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menawarkan sesuatu, namun kalian mengajukan
yang lain. Wahai Hamzah, temuilah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam dan katakanlah, “Kami mengikuti pendapatmu”".
Hamzah radhiallahu’anhu pun datang
menemui Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan mengatakan, ‘Wahai
Rasulullâh, sesungguhnya para pengikutmu saling menyalahkan dan akhirnya
mengatakan, ‘Kami mengikuti pendapatmu.’ Mendengar ucapan paman beliau
ini, Rasulullâh Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
‘Sesungguhnya jika
seorang Nabi sudah mengenakan peralatan perangnya, maka dia tidak akan
menanggalkannya hingga terjadi peperangan’.
Keputusan musyawarah tersebut adalah menghadang musuh di luar kota Madinah. Ibnu Ishâq rahimahullah dan yang lainnya menyebutkan bahwa ‘Abdullâh ibnu Salûl setuju dengan pendapat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam untuk tetap bertahan di Madinah. Sementara at-Thabari membawakan riwayat yang berlawanan dengan riwayat Ibnu Ishâq rahimahullah, namun dalam sanad yang kedua ini ada orang yang tertuduh dan sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, al-Bâkiri dalam tesisnya lebih menguatkan riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Ishâq rahimahullah.
Para Ulama Ahli Sirah menyebutkan bahwa yang memotivasi para Sahabat untuk menyongsong musuh di luar Madinah yaitu keinginan untuk menunjukkan keberanian mereka di hadapan musuh, juga keinginan untuk turut andil dalam jihad, karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk ikut dalam Perang Badar.
Sementara, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam lebih memilih untuk tetap tinggal dan bertahan di Madinah, karena Beliau ingin memanfaatkan bangunan-bangunan Madinah serta memanfaatkan orang-orang yang tinggal di Madinah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar